Jumat, 01 Mei 2015
CINTA DAN PERKAWINAN(minggu10)
Cinta dan Perkawinan Menurut Plato
Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak
ditemukan. Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan
harapan yang lebih. Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta,
maka yang didapat adalah kehampaann tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak
dapat dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur. Terimalah
cinta apa adanya.
Perkawinan adalah kelanjutan dari Cinta. Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya, Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia-sialah waktumu dalam mendapatkan perkawinan itu, karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.
Perkawinan adalah kelanjutan dari Cinta. Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya, Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia-sialah waktumu dalam mendapatkan perkawinan itu, karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.
a. MEMILIH PASANGAN
Memilih pasangan
hidup merupakan sesuatu hal yang sangat penting hukumnya atau (wajib), Karna
dalam hidup apa lagi sih yang kita cari kalo bukan jodoh kita. Salah satunya
pasangan hidup merupakan tujuan utama dalam hidup ini, karna menurut agama
kenapa Allah menciptakan Perempuan dan Laki-laki. agar mereka bisa hidup
berpasang-pasangan.
1. Pilihlah karena Agamanya.
2. Kenali dengan cara menanyakan kepada orang yang paling dekat dengannya dan
dapat kita percaya.
3. Letakkan niat pada tempat yang benar, karena segala perbuatan membutuhkan
dan sangat dipengaruhi niat.
4. Shalat istikharah untuk mohon petunjuk kepada ALLAH juga patut dilakukan.
5. Apabila semua ini telah dilakukan, maka pasrahkan diri kepada ALLAH
Subhanahu Wata'ala akan keputusan-NYA, jangan keluh kesah, karena itu tidak
akan pernah menyelesaikan masalah.
6. Dan terakhir, jangan bosan untuk berbekal ilmu pernikahan , karena berbekal
ilmu adalah lebih baik dari pada tidak membekali diri pada saat masuk ke dunia
yang baru.
b. HUBUNGAN DALAM PERKAWINAN
Perkawinan adalah nuklus sebuah masyarakat yang
melahirkan hak dan kewajiban. Karena itu, perkawinan diatur dalam sebuah hukum
yang disebut hukum perkawinan.
Hukum perkawinan Islam pada dasarnya adalah sebuah hukum
yang bersifat diyâni, tetapi kemudian dikembangkan sebagai hukum
yang berseifat qadhâ’î berdasarkan politik hukum Islam
atau as-siyâsah asy-syar‘iyyah. Perkawinan diyâni diselenggarakan sesuai nushûsh agama dari Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan
perkawinan qadhâ’î diselenggarakan sesuai dengan kebijakan
tertentu pemerintah atau peraturan perundang-undangan. UU No. 1 Tahun 1973
tentang Perkawinan menggabungkan kedua bentuk hukum tersebut di mana dalam
Pasal 2 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan
berdasarkan keyakinan agama dan perkawinan tersebut dicatat oleh negara melalui
lembaga pencatatan yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dalam istilah al-Qur’an, perkawinan disebut an-nikâh dan az-zawâj.
Kata asal an-nikâh berartial-’aqd (perjanjian,
kontrak), kemudian digunakan untuk menunjukkan pengertian al-jimâ’(persetubuhan).
Sedangkan az-zawâj berarti perpasangan antara
jenis laki-laki dan perempuan, atau antara jantan dan betina, atau antara dua
jenis yang berbeda, tetapi menyatu dalam fungsi. Dari
pengertian ini, maka perkawinan sesama jenis, seperti dilakukan oleh kaum
homoseksual dan lesbian, sebenarnya tidak dapat disebut perkawinan. Perkawinan
sejenis ini adalah ibarat memakai sepatu yang kedua-duanya kiri atau
kedua-duanya kanan sehingga tidak dapat dikatakan sebagai pasangan yang
cocok. Di negara-negara
tertentu yang menjalankan politik sekularisasi, perkawinan pasangan berlainan
jenis dizinkan oleh undang-undang.
Jadi, perkawinan
sebenarnya adalah pertemuan dua orang manusia berlainan jenis, yang diikat oleh
sebuah perjanjian sehingga menyatu secara fisik dalam bentuk persetubuhan serta
hubungan badan lainnya dan secara batin dalam bentuk ikatan batin untuk
mencapai tujuan perkawinan.
Perkawinan dimulai dari perjanjian antara calon suami dan calon isteri yang disebut kontrak perkawinan (‘aqd an-nikâh). Kontrak ini dilakukan di depan seorang penghulu sebagai pencatat kontrak, mirip seorang notaris dalam perjanjian biasa, disaksikan paling tidak oleh dua orang saksi dan pembayaran mas kawin oleh suami kepada istri dalam jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Perkawinan dapat disebut sebagai salah satu lembaga masyarakat yang melahirkan berbagai hubungan. Pertama adalah hubungan darah kepada anak cucu. Kedua adalah hubungan semenda kepada keluarga asal kedua belah pihak. Ketiga adalah hubungan kewarisan. Keempat adalah hubungan hak dan kewajiban. Ini tentu di samping hubungan ketetanggaan karena sebuah keluarga hidup salam suatu lingkungan masyarakat. Begitu banyaknya hubungan yang dilahirkan oleh lembaga ini sehingga memerlukan pengaturan yang rinci dari agama dan/atau perundang-undangan negara.
Perceraian
Perkawinan sebagai
kontrak dalam hubungan perdata dapat dibatalkan, tetapi sebagai perjanjian
bermakna keagamaan (mîtsâqan ghalizha) pada dasarkan tidak dapat
dibatalkan kecuali karena alasan-alasan pengucualiaan. Hal itu karena
perceraian walaupun pada dasarnya dibolehkan, tetapi merupakan suatu perbuatan
boleh yang dibenci Allah (abghadh al-halâl). Karena itu,
berdasarkan as-siyâsah asy-syar‘iyyah, negara melalui peraturan
perundang-undangan dan lembaga peradilan harus berupaya mencegah terjadinya
perceraian.
Peningkatan angka perceraian dalam keluarga merupakan salah satu ciri masyarakat modern, tidak terkecuali di Indonesia. Hal itu mungkin berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan keluarga yang sudah mulai bergeser karena pengaruh budaya asing yang masuk secara sadar atau tidak sadar ke dalam rumah tangga masyarakat Indonesia. Peningkatan ini dapat dilihat dari jumlah perceraian yang tercatat melalui proses hukum di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Agama, misalnya, yang menangani perkara khusus ummat Islam, perkara perceraian menempati peringkat teratas dari semua perkara yang ditanganinya.
Peningkatan angka perceraian dalam keluarga merupakan salah satu ciri masyarakat modern, tidak terkecuali di Indonesia. Hal itu mungkin berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan keluarga yang sudah mulai bergeser karena pengaruh budaya asing yang masuk secara sadar atau tidak sadar ke dalam rumah tangga masyarakat Indonesia. Peningkatan ini dapat dilihat dari jumlah perceraian yang tercatat melalui proses hukum di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Agama, misalnya, yang menangani perkara khusus ummat Islam, perkara perceraian menempati peringkat teratas dari semua perkara yang ditanganinya.
Perceraian jenis kedua
ini sering terjadi begitu saja secara otomatis, terutama di daerah pedesaan,
bila kedua belah pihak atau salah satu pihak merasa tidak cocok lagi meneruskan
perkawinan karena sebab atau sebab-sebab tertentu sehingga mereka berpisah
secara baik-baik atau berakhir dengan kepedihan. Akibatnya mereka tidak
mendapat perlindungan hukum dan sering tidak mendapatkan hak-hak yang
seharusnya didapatkan. Bila salah satu pasangan atau keduanya meninggal dunia
dan muncul sengketa kewarisan, maka sering terjadi, salah satu pihak atau ahli
waris mereka menghubungi pengadilan untuk mendapatkan itsbat nikah.
Jalan keluar ini berlaku atau sepatutnya hanya berlaku untuk perkawinan yang
dilaksanakan sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Baik perceraian tercatat
maupun yang tidak tercatat, keduanya sama-sama menimbulkan masalah dalam
masyarakat. Perceraian akan memperbanyak jumlah janda dan duda, anak tanpa
kasih sayang ayah-ibu yang berpotensi melahirkan masalah kenakalan remaja,
keretakan antara keluarga asal, dan segala masalah yang ditimbulkannya seperti
penyakit stress, kejahatan sosial dan lain-lain. Tidak mengherankan bila
al-Qur’an menyatakan dalam awal surah an-Nisâ’ bahwa perkawinan yang sah
melahirkan kasih sayang dan ketenteraman dalam keluarga
Proses perceraian di pengadilan juga melibatkan orang-orang terdekat dalam keluarga sebagai saksi salah satu pihak atau kedua belah pihak, seperti anak, mertua, saudara dan teman dekat. Orang-orang ini pun harus bekorban banyak, terutama perasaan dan hati nurani, dalam peperangan antara suami-istri yang ingin bercerai. Mereka harus rela membuka rahasia keluarga mereka atau bahkan berbohong untuk menutup rahasia tersebut atau untuk memenangkan salah satu pihak yang mereka bela.
Dari kasus-kasus
perceraian yang diajukan ke pangadilan, tampak bahwa penyebab perceraian atau
alasan-alasan yang digunakan oleh suami atau istri cukup beragam. Penyebab
atau alasan-alasan tersebut biasanya karena:
a. perlakuan yang tidak
hormat atau apa yang dipandang pelecehan dari satu pihak kepada pihak yang
lain.
b. kecemburuan salah
satu pihak disebabkan kedekatan istri atau suami dengan pria atau wanita
lain.
c. masalah anak baik
anak sendiri maupun anak bawaan dari perkawinan sebelumnya .
d. campur tangan
pihak ketiga (misalnya mertua atau another man or another woman dalam
kasus perselingkuhan).
e.masalah ekonomi.
f. masalah isteri
bekerja, dan lain-lain.
c. Penyesuaian dan pertumbuhan dalam
perkawinan
Perkawinan
tidak berarti mengikat pasangan sepenuhnya. Dua individu ini harus dapat
mengembangkan diri untuk kemajuan bersama. Keberhasilan dalam perkawinan tidak
diukur dari ketergantungan pasangan. Perkawinan merupakan salah satu tahapan
dalam hidup yang pasti diwarnai oleh perubahan. Dan perubahan yang terjadi
dalam sebuah perkawinan, sering tak sederhana. Perubahan yang terjadi dalam
perkawinan banyak terkait dengan terbentuknya relasi baru sebagai satu kesatuan
serta terbentuknya hubungan antar keluarga kedua pihak.
Relasi yang diharapkan dalam sebuah perkawinan tentu saja
relasi yang erat dan hangat. Tapi karena adanya perbedaan kebiasaan atau
persepsi antara suami-istri, selalu ada hal-hal yang dapat menimbulkan konflik.
Dalam kondisi perkawinan seperti ini, tentu sulit mendapatkan sebuah keluarga
yang harmonis.
d. Perceraian dan pernikahan kembali
Pernikahan
bukanlah akhir kisah indah bak dongeng cinderella, namun dalam perjalanannya,
pernikahan justru banyak menemui masalah. Menikah Kembali setelah perceraian
mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan
mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan
sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami.
Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang
berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu
untuk mengambil keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik
atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang
telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya
tariknya. Misalnya, Anda mencintai pria yang sekarang menjadi pasangan karena
kegantengan, kelembutan dan tanggung jawabnya. Lama-kelamaan, semua itu berubah
menjadi sesuatu yang biasa. Itu adalah kodrat manusia. Sesuatu yang baru
cenderung mempunyai daya tarik yang lebih kuat dan kalau sudah terbiasa daya
tarik itu akan mulai menghilang pula.
Esensi dalam pernikahan adalah menyatukan dua manusia
yang berbeda latar belakang. Untuk itu kesamaan pandangan dalam kehidupan lebih
penting untuk diusahakan bersama.
Jika ingin sukses dalam pernikahan baru, perlu menyadari
tentang beberapa hal tertentu, jangan biarkan kegagalan masa lalu mengecilkan
hati, menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman,
tinggalkan masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari
pernikahan sebelumnya.
e. Alternatif selain pernikahan (Single Life)
Perkembangan jaman,
perubahan gaya hidup, kesibukan pekerjaan yang menyita waktu, belum bertemu
dengan pujaan hati yang cocok, biaya hidup yang tinggi, perceraian yang kian
marak, dan berbagai alasan lainnya membuat seorang memilih untuk tetap hidup
melajang. Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan
dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia
seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi
merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang
memilih untuk tetap hidup melajang.
Persepsi masyarakat terhadap orang yang melajang, seiring
dengan perkembangan jaman, juga berubah. Seringkali kita melihat seorang yang
masih hidup melajang, mempunyai wajah dan penampilan di atas rata-rata dan
supel. Baik pelajang pria maupun wanita, mereka pun pandai bergaul, memiliki
posisi pekerjaan yang cukup menjanjikan, tingkat pendidikan yang baik.
Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah
tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama
menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak
pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu
kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan
cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas
kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup
melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga
promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih
bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang
lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
Kemapanan dan kondisi ekonomi pun menjadi alasan
tetap melajang. Pria sering kali merasa kurang percaya diri jika belum memiliki
kendaraan atau rumah pribadi. Sementara, perempuan lajang merasa senang jika
sebelum menikah bisa hidup mandiri dan memiliki karir bagus. Mereka bangga
memiliki sesuatu yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Selain itu, ada
kepuasaan tersendiri.
Pelajang juga menjadi sasaran keluarga untuk
dicarikan jodoh, terutama bila saudara sepupu yang seumuran telah menikah atau
adik sudah mempunyai pacar. Sementara orangtua menginginkan agar adik tidak
melangkahi kakak, agar kakak tidak berat jodoh.
Tidak dapat dipungkuri, sebenarnya lajang juga mempunyai
keinginan untuk menikah, memiliki pasangan untuk berbagi dalam suka dan duka.
Apalagi melihat teman yang seumuran yang telah memiliki sepasang anak yang lucu
dan menggemaskan. Bisa jadi, mereka belum menemukan pasangan atau jodoh yang
cocok di hati. Itulah alasan mereka untuk tetap menjalani hidup sebagai lajang.
Melajang adalah sebuah sebuah
pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan
mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang
telah cocok di hati.
Kehidupan melajang bukanlah sebuah hal yang perlu
ditakuti. Bukan pula sebuah pemberontakan terhadap sebuah ikatan pernikahan.
Hanya, mereka belum ketemu jodoh yang cocok untuk berbagi dalam suka dan duka
serta menghabiskan waktu bersama di hari tua.
DAFTAR PUSTAKA
www.dudung.net/artikel-bebas/cinta-dan-perkawinan-menurut-plato.html
Makalah ini dikembangkan
dari 3 tulisan penulis: (1) Perkawinan Buletin Dakwah, No. 11
Thn.XXII, 18 Maret 2005], (2) Perdamain
di Kalangan Ummat Buletin Dakwah, No. 12 Thn. XXXII, 25 Maret 2005, dan (3) Perceraian Buletin
Dakwah, No. 31 Thn. XXXII, 5 Agustus 2005.
Miftachr, 2010. Pengertian
Munakahat Pernikahan, Artikel, (Tersedia online
dihttp://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/pengertian-munakahat-pernikahan/ diakses
pada tanggal 6 Mei 2011).
Adhim, Mohammad Fauzil (2002) Indahnya Perkawinan Dini Jakarta: Gema Insani Press (GIP)
Sarlito
W. Sarwono & Eko A. Meinarno.2009. Psikologi Sosial. Depok: Salemba
Humanika
Fromm,
Erich. 2005. The Art Of Loving. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Chaplin.J.P.
1981. Kamus Lengkap Psikologi. PT. RajaGrafindo Persada.,Jakarta
Schultz
Duane.1991.Psikologi Pertumbuhan.Kanisius. Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
makasih artikelnya
Posting Komentar