Rabu, 26 November 2014

Analisis Fenomena Di Media Sosial (bullying) terhadap seseorang

Kasus: Tukang Sate Ditangkap

Pada tanggal 31 Oktober 2014 #SaveTukangSate, begitulah hastag twitter yang menjadi trending topik dalam tiga hari belakangan. Munculnya gerakan publik di media sosial ini merupakan reaksi atas penahanan seorang buruh kipas sate yang konon melakukan tindakan bullying terhadap Joko Widodo pada saat momentum pemilihan presiden beberapa bulan lalu.
Kita semua sepakat bahwa tindakan bullying apa lagi bermuatan penghinaan dan pencemaran nama baik oleh siapapun dan ditujukan kepada siapapun adalah suatu tindakan yang tidak terpuji dan jauh dari nilai-nilai dan budaya bangsa. Bahkan kalau perlu pelakunya pantas diganjar hukuman pidana untuk memberikan efek jera.
Kita tidak tahu apa motif Hendri Yosodiningrat melaporkan MA(24) ke kepolisian apakah memang ingin menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku lain atau merupakan bagian dari skenario pencitraan Bapak Presiden nantinya, kita serahkan kepada yang bersangkutan. Akan tetapi melihat latar belakang fenomena bulliying ini awalnya justru muncul dari relawan pendukung Jokowi, maka penangkapan itu merupakan suatu tindakan yang sangat naif dan ironis.
Menengok ke belakang, fenomonea bullying ini sebenarnya muncul saat Jokowi lagi populer-populernya. Kepepopuleran Jokowi sebagai idola publik baru menggundang berbagai pihak baik pengamat dan tokoh nasional berkomentar mengenai beliau. Tentunya tidak semua tokoh dan pengamat mempunyai pandangan sama dengan publik saat itu. Amin Rais mantan ketua MPR misalnya pernah membuat pernyataan bahwa prestasi Jokowi sebagai Walikota Surakarta hanyalah prestasi semu. Amin berargumen tidak ada indikator yang jelas yang menunjukkan bahwa Jokowi merupakan Walikota berprestasi, kecuali hanya dapat mendapat penghargaan sebagai Walikota terbaik melalui polling online.
Entah dikoordinir atau tidak pernyataan Amin yang menyududutkan Jokowi ini ternyata menuai reaksi publik. Kolom-kolom komentar pembaca media massa online maupun media sosial yang memuat pemberitaan yang berlawanan dengan opini publik ini, hampir seluruhnya penuh dengan kecaman-kecaman bernada sarkastik dan menyudutkan Amin Rais.
Pertarungan sengit antara Jokowi dan Fauzi Bowo pada putaran kedua Pilkada Gubernur DKI 2012 semakin mempersubur fenomena bullying ini khususnya di kolom-kolom komentar media online dan media sosial. Hampir setiap hari kita melihat kolom-kolom komentar media online seperti penuh dengan sumpah serapah, penghinaan, penistaan setiap tokoh atau pengamat yang berkomentar miring terhadap Jokowi. Dan kalau kita memperhatikan tata bahasa, jargon-jargon dan inti pesan yang ingin disampaiakan sepertinya ada sebuah kesengajaan bullyer untuk mendeligitimasi Foke sekaligus meligitimasi Jokowi saat itu. Bahkan tidak jarang kita melihat foto-foto Foke yang diidentikkan dengan Hitler tokoh Nazi Jerman sementara disampingnya Jokowi yang diidentikkan dengan Obama Presiden Amerika.
Rhoma Irama yang saat itu sangat getol menghambat laju Jokowi pun juga tidak luput dari bulliying para pendukung Jokowi dengan konotasi-konotasi yang sangat memiriskan, baik secara verbal maupun non verbal.
Fenomena bulliying para pendukung Jokowi ini berlanjut pada Pilpres 2014. Saat inilah publik terbelalak ketika seorang wanita cantik bernama Kartika Djumadi pada sebuah acara TV Swasta mengakui ia memimpin sebuah komunitas media sosial yang berkegiatan mendukung aktifitas politik Jokowi. Walaupun Kartika tidak mengaku sebagai pihak yang bertanggungjawab atas fenomena bullying selama Pilkada DKI namun merupakan salah satu alibi yang mendukung bahwa aktifitas bulliying di media sosial bermula dari mereka.
Keberadaan Jasmev sebagai buzzer pendukung politik Jokowi ternyata mengundang reaksi politisi partai Gerindra Fadli Zon. Fadli menuding bahwa keberadaan tentara maya di kubu lawan bertanggung jawab atas beredarnya konten-konten negatif atas Prabowo Subianto. Fadli Zon bersama koleganya dari PKS Fahri Hamzah pun tidak dapat mengelak untuk terjun dalam perang opini lewat media sosial. Bahkan kedua politisi ini sendiri malah menjadi korban bulliying, nama Fadli Zon malah lebih sering dibilang Fadli Zonk di kalangan pendukung Jokowi.
Konstalasi inilah yang akhirnya membuat perang terbuka di media sosial pada Pilpres kemarin benar-benar tidak dapat di elakkan. Jika pada Pilkada DKI Foke dan pendukungnya lebih banyak menjadi korban bullying, maka di Pilpres ini kekuatan menjadi seimbang, jadi tidak mengherankan kalau kita melihat foto Prabowo dikonotasikan dengan hewan maka hal yang sama juga terjadi pada Jokowi. Jokowi dalam hal ini bukanlah objek penderita tunggal sebagaimana dialami oleh Foke.
Berdasarkan hal tersebut diatas saya berkesimpulan bahwa tindakan MA sesungguhnya merupakan reaksi bullying yang dikampanyekan pendukung Jokowi sendiri sejak lama. MA memposting foto yang tidak senonoh itu karena pendukung Jokowi juga melakukan hal yang sama kepada tokoh pujaan MA.


Motif dari proses bullying
Awalnya MA adalah pengikut dari kampanye jokowi, di anggota kampanye tersebut ada yang mengedit foto jokowi menjadi hewan dan memposting kemedia sosial. MA juga memposting foto tidak senonoh tersebut karena pendukung jokowi juga melakukan hal yang sama. Dalam hal ini juga seharusnya pihak jokowi juga harus cari tahu dulu siapa yang benar-benar melakukan bullying ini dan MA disini juga ikut-ikutan saja.


Pantaskah Hukuman yang diberikan
Menurut saya hukuman yang diterima pelaku pantas dan tidak pantas. Saya bilang pantas karena pelaku harus mampu mempertanggung jawabkan perbuataannya dan dalam kasus ini juga pelaku dapat mempelajari kesalahannya. Kalau tidak pantasnya seharusnya pelaku yang lainnya juga harus ikut ditangkap jangan hanya MA saja yang ditangkap.



Sumber
http://politik.kompasiana.com/2014/10/31/tukang-sate-ditangkap-naif-dan-ironis-683889.html

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Diberdayakan oleh Blogger.